Rabu, 03 Oktober 2012

Akademisi ??? Intelektual ??? HAH !!!

Hobi saya memang sekolah, tapi tahukah Anda bahwa bersekolah itu tidak bisa hanya sekedar lulus. Ternyata dalam ilmu yang lebih banyak terdapat tanggung jawab yang juga lebih besar.

Tulisan saya sebelumnya sebenarnya adalah tulisan egois karena kesal kenapa memilih sekolah sebagai hobi tidak bisa semudah hobi koleksi perangko misalnya ... Konsekuensi memiliki pengetahuan lebih banyak karena bersekolah membawa tanggung jawab yg juga besar. Sebutan kaum akademisi itu sungguh berat. Pilihan hidup yang sulit ... Mau jadi hobi terus tutup mata ya kok aneh juga ...

Sudah lama saya tahu bahwa kaum akademisi punya tanggung jawab besar dalam hajat hidup orang banyak, terutama soal kemanusiaan. 



Kemarin saya diingatkan kembali bahwa dalam banyak pemikiran, kaum akademisi menjadi tumpuan harapan dalam kehidupan sosial. Kita ambil saja pemikiran Marxisme misalnya. Pemikiran Marxisme bersumber pada pemikiran Marx dalam banyak hal. Meskipun begitu ada beberapa perbedaan. Bila Marx mengatakan dalam sejarah perjuangan masyarakat manusia, terdapat 2 kelas yg terus berkonflik (borjuis dan proletar), maka dalam pemikiran Marxisme, selain 2 kelas tersebut, terdapat sebuah kelas menengah yang disebut Gramsci sebagai kelas intelegensia, yaitu kaum akademisi.

Dalam perjuangan buruh yang tiada akhir, maka ramalan Marx menyatakan bahwa suatu hari buruh akan menang melawan jeratan borjuis dan kapitalis dalam sebuah revolusi. Namun, dalam pemikiran Gramsci, perjuangan buruh tersebut tidak akan menjadi revolusi bila hanya mengandalkan ekonomi, namun juga harus dibantu dan didukung oleh kelas intelegensia. Kaum akademisi inilah yang memiliki kapital budaya, yaitu akses pada ilmu pengetahuan untuk menyebarkan kesadaran kelas dan menghajar kesadaran palsu yang selama ini disebarkan dan disosialisasikan oleh kapitalis. Ini cuma 1 pemikiran. Walaupun kemudian Adorno pesimis dengan harapan yang dinyatakan Gramsci, namun itu lain soal.

Jadi dengan memilih hobi sekolah, terutama sekolah hingga jenjang S3 sekarang ini, mau tak mau saya juga harus memikirkan mengenai beban moral yang harus saya tanggung itu. Saya sendiri bukan tipe pejuang lapangan yang turun ke jalan utk menyuarakan keadilan dan kemanusiaan. Saya dan suami saya sepakat itu bukan panggilan kami. Saya juga bukan pekerja sosial yang bisa dengan mudah bersentuhan dengan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan sukarelawan dan kegiatan sosial kemanusiaan. Namun demikian, pernyataan ini bukannya tanpa proses melalui itu semua. Kalo urusan menjadi sukarelawan dan pekerja sosial, wah saya sudah jatuh bangun rasanya. Saya sudah berkali-kali mendedikasikan diri untuk berbagi dengan anak-anak Panti Asuhan, orangtua di Panti Jompo, bahkan menjadi pekerja sosial selama 3 bulan di Panti Tuna Grahita (yang lebih hebat lagi, kebanyakan dilakukan sendirian tanpa teman-2 saya, hahahaha). Apalagi, saya sudah sering ikut ini itu atas nama berbagi, memang menyenangkan tapi kok saya tidak tenang dan tidak puas ya, saya merasa bukan itu panggilan saya.

Berbeda dengan mengajar, mau gak dibayar, mau cuma sebentar, mau sengaja tidak sengaja, saya suka mengajar. Mengajar membuat saya bahagia, berbagi dengan orang lain yang menyenangkan. Saya cinta sekali mengajar. Nah, mungkin itulah panggilan saya (Kalo kata sahabat saya, Yanti, drama Virgo, wheww ...) Jadi ilmu yang saya dapat dari hobi sekolah saya itu bisa disharing dan dapat menumbuhkan rasa kemanusiaan mendalam pada anak didik. Tapi kan mengajar tidak hanya mengajar, mengajar punya konsekuensi mendidik pula.

Mengajar saja dengan mudah dapat dilakukan, tapi konsekuensi mendidik itu yang berat. Mendidik berkaitan erat dengan integritas. Seorang pendidik harus menjaga martabat dan integritasnya. Bila itu hilang dari seorang pendidik, saya tidak heran banyak kasus yang memperlihatkan profesi pengajar jauh dari unsur mendidik. Menjadi pendidik, maka Anda harus memikirkan masak-masak segala tindakan dan konsekuensi tindakan Anda pada anak didik di kemudian hari. Jadi, bila para pengajar tidak memikirkan hal itu, maka sebaiknya mari merenung tentang apa sebenarnya panggilannya di dunia. Yang pasti bukan sebagai pendidik. Itu hanya sekedar pekerjaan, bukan panggilan dan pengabdian.

Akhirnya, saya memutuskan bahwa saya akan berbagi dalam panggilan saya sebagai pengajar dan pendidik. Terserah orang bilang saya seharusnya bisa lebih aktif dalam ini itu, ikut sukarelawan, ikut kegiatan amal, ini itu, tapi buat apa bila untuk menyenangkan orang lain. Yang tahu kapan saya bahagia adalah saya. Jadi sayalah diri saya. Hobi sekolah yang menyenangkan saya, harus menerima konsekuensi, yaitu berbagi ilmu. Hobi sekolah tidak akan membuat saya berhenti belajar, tapi juga saya harus menerima bahwa saya pun tidak boleh berhenti berbagi ...  :D

Kalau kata Gramsci, apakah kita ini Intelektual Tradisional atau Intelektual Organis? saya rasa berbagi tanpa memikirkan yang mana yang mendefinisikan diri kita lebih baik dibandingkan mengategori diri dalam sebuah kelompok namun terbebani dengan definisi itu sendiri. Halah ... makin stres ...

Buat yang baca, kok mau sih baca blog saya. Kalian ini aneh-2 saja ... isinya ngawur dan sudah pasti saya larang utk dijadikan referensi ilmiah, hahahahahahahahaha

Have a fun life ev'rybody ... Do what you wanna do and be happy with it ... Don't do it for others apalagi if you do it because you have to please others ... No, we shall be happy first to make others happy ... 

Percaya deh sama saya, hidup menyenangkan orang lain adalah palsu, namun hidup bahagia dan berbagi kebahagiaan itulah yang membuat orang lain juga merasakan bahagia dalam diri mereka ...

Sekali lagi ... Have a fun life ....